Assalamu'alaikum... Ahlan Wa Sahlan Bihudhurikum..

PP. Al Khairiyah Al Islamiyah

Jl. Kadudampit Ds. Sukasari Kec. Cisaat Kab. Sukabumi Jawa Barat 43152

Minggu, 27 Januari 2013

PERPISAHAN YANG TAK PERNAH KUINGINKAN

Posted by Unknown 3:01 AM, under | No comments

PERPISAHAN YANG TAK PERNAH KUINGINKAN


karya: Ikhwanul Muslimin grup


            Adzan zhuhur berkumandang, namun sepertinya telingaku berhasil menolak dengan sukses panggilan sholat tersebut, karena hari ini tubuhku terasa tidak enak dan tak ada nafsu untuk merespon panggilan sholat tersebut. Cahaya panas matahari terus menjemur tubuhku yang bersandar di pinggir lapangan basket milik sekolahanku. Tiba-tiab aku dikejutkan oleh sosok yang bediri tegap di belakangku.

“Udah sholat, Rik?” suara yang begitu kukenal jelas itu milik sahabat karibku, Irfan, si ketua OSIS dan sang kapten tim basket “Master Boys” –Persatuan Basket sekolahku-.

“Memangnya kamu sudah, Fan?” tanyaku santai tanpa melihat dia yang masih berdiri di belakangku.

“Belum sih, tapi aku berniat mengajakmu berjama’ah siang ini. Ayo kita sholat bareng!?” ucapnya pelan.

“Sholat aja dulu. Ngapain kamu mengurus orang lain kalau kamu sendiri belum melaksanakannya?” jawabku asa, sambil berdiri dan bergegas kulangkahkan kaki ke kanting meski Irfan memandangiku dengan tatapan sinis dan merasa aneh dengan respon yang kuberikan. Mungkin ia sedikit marah dan tidak suka dengan perlakuanku itu. Itu bukan yang pertama kalin dia mengingatkanku untuk sholat zhuhur. Berkali-kali dia mengingatkanku tentang hal itu. Pernah aku menuruti perkataannya, tapi juga tak jarang aku membantah dan mengabaikan nasehat darinya. Dia juga tak pernah bosan dan berhenti mengingatkanku untuk selalu rajin ibadah terutama sholat zhuhur yang menurutku sangat sulit dilakukan tepat waktu.

Kuakui bahwa dia adalah seorang yang baik meski terkadang aku merasa jengkel karenanya. Dalam hal ibadah, belum pernah kudengar jika ia melalaikannya meski dalam keadaan bagaimana pun, karena ia tahu bahwa seorang muslim punya kewajiban yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. “Tapi bagaimana dengan diriku?” aku menyesalkan diriku sendiri.

***


            “Selamat tinggal, Rik!” itulah kata terakhir yang diucapkan Irfan kepadaku setahun silam, meski hanya lewat telepon dengan hidden number. Bagiku dia adalah teman terbaik yang pernah aku kenal. Tak pernah kusesali persahabatan yang pernah terjalin antara aku dan dia. Tapi sialnya itu baru kusadari setelah ia pergi. Ternyata aku sangat membutuhkannya. Alangkah bodohnya diriku dulu yang tidak memanfaatkan keberadaannya. Dan kini hanya penyesalan yang dapat kunikmati. “Ku berharap waktu dan tempat masih mengizinkan untuk kita dapat bertemu kembali”. Bisikku dalam hati.

Lusa kemarin, aku bertanya kepada Pak Rahmat, bapaknya Irfan tentang kabarnya Irfan dan kapan ia bisa pulang di hari-hari liburan ini.

“Dia baik-baik saja kok, tapi katanya dia belum bisa pulang dalam waktu dekat ini, sebagai seorang ketua Rohis di Surabaya ada banyak tugas yang harus diselesaikannya. Mungkin minggu depan dia  baru bisa pulang”. Jawab Pak Rahmat waktu itu.

Informasi dari Pak Rahmat sedikit melegakan hatiku, karena tak lama lagi rinduku pada Irfan dapat terbeli. Setahun lalu, Irfan memang memutuskan untuk meneruskan SMA nya di Surabaya, karena dia tipe orang yang gigih mengejar cita-cita, demi masa depan dunia dan akhiratnya. Tak peduli, ke mana pun akan ia jajaki demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat kelak. “Uthlubul ‘ilma walau bish-shiin” katanya.

***


            Tulangku seperti mau retak. Tubuhku lemas tak berdaya seperti biasanya. Setelah sejak pagi tadi aku bantuin ibu di pasar untuk mengangkut barang-barang dari berbagai agen-agen besar yang menjadi langganan ibuku.

Setibanya di serambi rumah, adikku Tias yang masih kelas 1 SMP, bergegas menghampiriku.

“Kak Riki, tadi Bu Lasmi ke sini, kakak disuruh untuk segera ke rumahnya, katanya kak Irfan udah datang”.

Sebuah semangat untuk segera pergi ke rumah Pak Rahmat, tiba-tiba muncul di benakku.

“Terima kasih, Tias”, ucapku sambil berjalan ke dalam.

“Tapi, kak .....” Tias menggantung ucapannya. Seperti ada sesuatu yang ragu untuk ia ucapkan.

“Ada apa, Tias?” tanyaku dengan penuh penasaran.

“Tadi, kulihat wajah Bu Lasmi seperti ada masalah. Mukanya sembab kemerah-merahan, seperti habis menangis. Tapi, Tias tidak tahu kebenaran sesungguhnya. Pokoknya, kak Riki disuruh untuk segera ke sana”, jelasnya singkat.

Cepat-cepat aku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan kemudian sholat Zhuhur. Tak tahu kenapa sejak aku baru sadar akan baiknya Irfan, aku jadi lebih rajin sholat Zhuhur di awal waktu. Aku merasa teguran Irfan itu selalu datang ketika adzan Zhuhur berkumandang, meski dia tidak berada di sekitarku.

Usai sholat Zhuhur, aku ganti baju yang lebih cocok untuk bersilaturrahim ke rumah Pak Rahmat. Dengan langkah mantap aku langkahkan kaki ke luar rumah dan menuju rumah Pak Rahmat yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahku.

Setiba di rumah Pak Rahmat aku merasa ada yang aneh, kelihatannya ada banyak orang yang berdatangan ke rumah Pak Rahmat. “Apakah serame ini penyambutan kedatangan Irfan?” pikirku dalam hati. Tanpa ragu aku mengucap salam dan masuk ke dalam rumah yang sedikit mewah itu.

“Wa’alaikumussalam, hai Rik, apa kabar?” Mas Rian, kakanya Irfan menghampiriku.

“Oh, Mas Rian, baik. Kapan pulang Mas?” jawabku basa-basi.

“Baru kemaren malam, kamu mau mengantarkan Irfan?” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

“Maksud Mas?” tanyaku bingung.

“Irfan telah kembali ke Rohmatullah.” Jawabnya dengan sedikit terisak. Mendengar itu jantungku sepertinya berhenti sejenak. “Irfan meninggal? Tak mungkin.... tak mungkin....” jeritku dalam hati. Aku hampir tak mempercayainya.

Kemudian dengan langkah tak menentu, aku masuk lebih dulu ke kamar. Ternyata Irfan sudah dimandikan dan disholatkan. Sebentar lagi ia sudah diberangkatkan ke tempat peristirahatannya. Maka aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengantarkan teman terbaikku yang telah pergi ke dunia yang tak sama denganku. Ternyata rinduku pada Irfan tak terbeli dan berakhir sampai di sini.

***


            Usai acara pemakaman, aku bertanya pada Mas Rian apa yang menyebabkan Irfan kembali ke Rahmatullah secepat ini?

“Dia meninggal karena mempertahankan imannya. Awalnya dia akan dibaptis oleh Pendeta Yohanes, pimpinan Gereja Santa Yohanes Bosco. Pendeta itu mengirim utusan kepada Irfan agar dia mau menjual agamanya dengan uang 10 juta rupiah. Tapi Irfan menolak mentah-mentah tawaran itu. Lalu dia dipaksa oleh utusan itu untuk ikut ke Gereja dan berkata, “Sudah saatnya kamu keluar dari aliran sesat yang selama ini kamu anut, supaya kamu suci dari dosa. Tapi Irfan terus berusaha melarikan diri, hingga ia dapat memanfaatkan keadaan ketika utusan itu mulai lengah. Dengan gerakan cepat, ia berlari kencang dan tak memperdulikan keadaan sekitarnya. Hingga ia telah sampai di jalan raya yang cukup besar, ia tetap berlari ketika itu, tanpa ia sadari ternyata ada truk yang melaju kencang dan menabrak Irfan yang sedang berlari. Irfan pun terpental beberapa meter. Tapi keajaiban terjadi, Irfan meninggal dalam keadaan tersenyum dan tidak ada sedikit pun darah yang keluar dari tubuhnya. Dia telah meninggla sebagai Syuhada. Begitulah keterangan dari seorang saksi mata yang ketika itu ada di sekitar TKP”. Jelas Mas Rian panjang lebar waktu itu.

Aku tahu, Irfan diperlakukan seperti itu karena mungkin ia dianggap membahayakan bagi ajaran Kristen yang ada di daerahnya. Irfan adalah seorang ketua Rohis di sana. Dia tipe orang yang gigih mengejar cita-cita setinggi mungkin dan setiap kali ditanya alasannya selalu “Agar Allah mengangkat derajatku”.

***


Sahabat....


Dulu...kususuri setiap keluhku denganmu


Setiap tawa , canda , dan air mata


Ku labuhkan di pelukmu


Ku rindukan kembali hadirmu di sini


Tapi...


Kini di tempat ini


Aku hanya dapat menatap tubuhmu


Yang terbujur kaku tak bergeming


Dengan mata yang tertutup rapat


Serta bibir yang tersenyum penuh  kemenangan


Kau telah bahagia , terlepas dari beban dunia


Selamat jalan sahabat...


Doakan aku agar dapat meneruskan perjuangan ini


Doakan aku agar kelak rindu ini dapat terbeli


Itulah puisi yang aku tulis dibuku diareku sebagai pelampiasan perasaanku pada Irfan kemarin. Aku berharap bisa menjadi orang seperti dia.

- The End -


 

0 komentar: