SEMILIR BERAKHIR
Karya: Mujahidin United grup
Angin akhir tahun menampar mimpi yang menghiasi lelapku. Membuatku terjaga dengan menggigil. Cepat-cepat kuambil selimutku yang pergi dari mendekapku, mungkin karena ulah tubuhku akibat resonansi mimpi yang kuat.
Kehangatan dekapan selimut ini menguatkan pertahananku dari angin malam yang masuk ke kamar. Tapi hanya tubuhku yang dapat bertahan. Pikiranku sungguh kalang kabut. Apakah mimpi tadi jadi kenyataan? Segera aku beranjak dari ranjang dan tak lupa kubawa juga selimut untuk mendekapku.
Jendela kamar kubuka sedikit demi sedikit, tanpa kenal ampun tamparan keras angin malam langsung mendarat di wajahku. Kucari isyarat-isyarat yang mungkin tepat dari mimpi tersebut, sebelum akhirnya kututup kembali jendela tanpa ada isyarat yang kudapat. “Ah.....semoga takkan terjadi”. Kataku sambil mengayunkan kaki ke dapur mengambil sesuatu yang dapat menghangatkan badan dan pikiran.
***
Segelas bandrek hangat kubawa menuju ruang tengah yang masih terang oleh lampu yang belum dimatikan. Kloso1 yang terdampar di tengah ruangan menjadi labuhan kakiku, apalagi dengan ditambah kasur di atasnya membuatku semakin nyaman. Sambil menyeruput bandrek yang kutuangkan di Lepek2 aku masih memikirkan mimpi itu.
Sudah empat kali dalam satu bulan ini, aku bermimpi seperti itu. Bertemu tetanggaku di Saweran3 rumahnya. Tak lama kemudian, beberapa hewan datang kepadanya seperti mendemokan sesuatu. Berteriak-teriak tanpa kutahu maksudnya. Aku menghampiri tetanggaku yang masih duduk memerhatikan hewan-hewan itu. Aku bertanya kepadanya, “Sebenarnya apa yang mereka katakan?” tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, aku semakin penasaran dan takut. Saraf-sarag penenang semakin tak bisa berbuat banyak kepadaku tatkala hewan-hewan itu semakin berteriak dengan bahasa mereka masing-masing. Cukup melemahkan otakku juga ketika angin menjadi ribut. Ketakutan semakin mempererat cengkramannya. Hewan-hewan itu semakin ribut, tapi dengan tenang tetanggaku mencoba membagikan ketenangan itu kepada mereka. Kurasakan hawa yang sangat dingin dan akhirnya diriku sadar dari mimpi ini.
Aku telah mengenalnya sejak dua bulan lalu. Dia biasa kupanggil Mas Hasan, orangnya tinggi dan besar, berjenggot rapi, tapi sebagian kepala depannya tidak berambut. Tanda bahwa dia seorang pemikir.
Sangat sering saat angin sepoi-sepoi meliuk-liukkan dedaunan dan rerumputan. Di saweran rumahnya dia menerawang jauh ke depan. Terbentang di hadapan matanya ciptaan Sang Maha Karya yang tiada tandingannya. Perbukitan, ilalang, pohon-pohon, sungai yang gerericik suaranya diselingi oleh burung-burung yang menari di udara sambil berdzikir kepada Nya.
Pernah suatu ketika, waktu dia menerawang, dia meneteskan air mata. Dia membiarkan air itu berjalan di pipinya dan terjun ke tanah. Pasti, dia memikirkan tentang kesedihan yang menderanya. Dan kadang pula dia tertawa dan tersenyum, aku menduga dia memikirkan sesuatu yang lucu atau yang membuat dia gembira.
Namun, karena “ritualnya” ini pula dia sedikit dianggap aneh oleh masyarakat. Tetapi, laki-laki yang sudah berkepala empat ini adalah pemikir hebat dan aku percayakan untuk menceritakan mimpi ini kepadanya esok pagi.
Tak terasa bandrek penghangat hanya tersisa ampasnya. Dan kuamati ruang makan yang sederhana ini. “Ah..... seperti belum pernah ke sini saja”, kataku dalam hati. Ponselku berdering dengan lagu “What makes you beautiful”, tanda jam 03.30 pagi.
***
Di saweran rumahku, aku menikmati subuhku. Kulototi kembali puisi yang kutulis tadi.
Sebelum Malam Berakhir
Langit masih saja berkeringat saat pelepah malam menjelma Fajar
Matahari belum berpijar bening, air mata subuh lebih dulu memancar
Gema adzan memandar di sela-selanya
Butir-butir keringat langit masih berayun di kening rumputan
Menjamak dzikir-dzikir ayam jantan yang menampar mimpi-mimpi yang berkelindan di atas ranjang
Jangkrik turut berdzikir sebelum malam ini berakhir
Adakah yang tahu pada saat itu kasih sayang Nya mengalir deras
Mengalir dari langit-langit malam dimana Malaikat-malaikat Nya bersyair
Tak ada nyanyian anyir karena bulan tetap berselir
Subuh mengalir..... subuh bersyair......
Sebelum malam berakhir. . . .
Kubuka netbook perakku. Tanganku mulai mengetik huruf perhuruf puisiku tadi. Akhirnya kupindah ke mailing list Yahoo! Dan kukirim ke media massa.
Memang di sini tempat yang cocok untuk internet. Dekat dengan vila-vila elit yang membuat akses internet semakin cepat mengalahkan desa-desa dekat kota. Membaca berita-berita sepertinya tepat untuk subuh ini. Kucoba membuka portal-portal berita.
Dadaku sedikit mendidih ketika aku membaca berita “Garuda akhirnya keok oleh tikus-tikus”. “Kapan Indonesia gagah mengangkangi para tikus berdasi?”, tanyaku sambil menahan panasnya hati ini. Dan cukup banyak berita selain tadi yang membuat hati ini mendidih. Tapi, di manakah perasaan mereka sebagai manusia?
***
Aku menghampiri tetanggaku yang menggembalakan domba-dombanya di padang belakang rumahnya. Aku teringat akan filosofinya tentang penggembala, “Penggembala adalah pemimpin sejati”. Ya aku tahu ketika itu aku menanyakan kepadanya kenapa dia lebih memilih menjadi penggembala.
Domba-domba tetanggaku ini memang baik kualitasnya, bayangkan saja satu ekor domba bisa dihargai lima juta rupiah, sedangkan sekarang dia mempunyai sekitar 75 ekor domba. Ini contoh kesuksesan “kepemimpinan” tetanggaku.
Aku menyapanya dan diapun membalasnya. Aku memang takjub dengannya yang selalu berusaha tersenyum kepadaku. Walaupun guratan-guratan kesedihan tercermin di wajahnya. Langsung saja kuutarakan maksudku datang kemari. Namun, alangkah kagetnya aku ketika aku mendengar bahwa dia juga bermimpi seperti itu. Apakah gerangan yang mungkin terjadi?
“Kawan, masih ingatkah kau terhadap “hado”?”, tanyanya mengagetkan diriku.
“Ya, masih”, jawabku singkat.
“Semua benda di alam ini mempunyai perasaan, mungkin karena gelombang hado yang buruk dari manusia membuat alam ini marah”.
Aku mencermati perkataannya yang pernah dia katakan ketika di memberiku buku karya Masuru Emoto, The Mesiage of Water. Kucermati sekali lagi perkataannya sambil melihat burung-burung yang berkicau di atas pohon-pohon. “Sejahat apakah manusia sehingga alam marah?”
***
Semilir sore membelai tubuhku, tapi kenapa suhu menjadi gerah? Kulihat awan Cumulunimbus hitam mendekat. Semakin dekat. Dari kejauhan alam menjadi hitam besar berputar merusak semuanya. Berputar dan memendar.
1 Kloso = tikar / karpet
2 Lepek = mangkuk kecil untuk menuangkan minuman panas
3 Saweran = serambi
0 komentar:
Posting Komentar